Belajar dari Foto Pengorbanan Quang Duc
Quang Duc, seorang Rahib
taat yang menolak dengan harga mati penindasan terhadap kebebasan beragama di
negaranya dan membakar diri sebagai bentuk protesnya, aksi pengorbanan Duck
berujung kemenangan yang diabadikan oleh sejarah.
Kisah memilukan rahib Quang Duc berawal dari terpilihnya
seorang pria bernama Ngo Dinh Diem sebagai pemimpin Vietnam selatan. Diem
adalah seorang Katolik taat yang terdidik dalam budaya Prancis, Ia menguasai
beberapa bahasa dan pernah mengenyam kehidupan di Italia selama beberapa tahun,
Diem adalah seorang pria yang mendapatkan penobatan dari wakil residen AS
Lyndon Johnson sebagai “Winston Churchill Asia”. Diem merupakan manusia yang
memiliki karismatik sehingga mampu memikat para pemimpin barat. Ia bahkan
mengumumkan bahwa dirinya adalah pemimpin yang kelak akan membawa demokrasi ke
Asia tenggara, dan semua orang percaya sebelum akhirnya mengutuk Diem.
Semua anggapan baik tentang Diem perlahan memudar,
pasalnya selama satu tahun sebagai pemimpin Diem menghanguskan semua partai
politik kecuali partainya sendiri dan ketika negara menyelenggarakan pemilu Ia
memilih abangnya untuk mengatur seluruh tempat pemilihan sebelum akhirnya nama
Diem menempati sebagai pemenang dengan perolehan suara 98.2 persen, angka yang
sangat fantastis. Diem mengisi kursi pemerintahan dengan barisan keluarga dan
kroninya yang korup Ia dan para pengikutnya hidup mewah diatas ribuan kepala
rakyatnya yang melolong kelaparan. Tidak berhenti sampai disini sejarah
mengenang beberapa hobi buruk Diem salah satunya adalah menindas dan membunuhi
orang-orang yang tidak sejalan dengannya, sebagai penganut Katolik yang taat Ia
membenci penganut Buddha, padahal 80 persen rakyatnya adalah seorang Buddhis. Sikap
ini menjadi ancamana dan takdir buruk bagi penganut Buddha. Dan benar saja Diem
melarang adanya spanduk, perayaan hari raya, dan menolak memberikan layanan
pemerintahan untuk rakyat yang beragama Buddha.
Sikap arogan dari Diem mendapat reaksi keras dari
penganut Buddha khususnya para rahib sebagai pemuka agama, berbeda dengan Diem
yang bertindak dengan cara kekerasan dan otoriter, para rahib dan pengikutnya
menempuh aksi damai untuk menyampaikan aspirasinya. Tapi nahas aksi protes
tersebut tidak meluluhkan hati Diem, bahkan para aparat kepolisian yang
seharusnya melindungi rakyat berubah wujud menjadi monster galak tanpa ampun,
aparat mengusir para demosntran dengan melayangkan isi senapan besi menembus
kulit dan jantung para rahib serta pengikut Buddhis yang tidak memiliki alat
tempur apapun.
Penindasan religious ini berlangsung pilu, hingga
sampailah pada tanggal 10 Juni 1963 dimana moment langka terjadi dengan penuh
khidmat dan menyita bahkan perhatian seluruh belahan dunia. Di perempatan
Saigon tidak jauh dari istana presiden adalah sebuah kota yang merekam dengan
jelas peristiwa puncak kekecewaan para Buddhis. Terlihat jelas para rahib dan
ratusan biarawati mendaraskan berbagai doa. Kemudian para rahib dan biarawati mengelilingi sebuah
mobil dengan spanduk bertuliskan “penuntutan kebebasan beragama”. Tidak lama kemudian 3 rahib turun dari mobil
tersebut, rahib pertama membawa bantal dan meletakkannya dipermukaan jalan,
rahib kedua berjalan menuju bantal lalu duduk diatasnya dengan posisi lotus dan
mulai bermeditasi, kemudian rahib ketiga membuka bagasi lalu mengambil jeriken
yang berisi bensin dan menyiramkannya kebadan rahib kedua yaitu seorang kakek
yang diketahui bernama Thich Quang Duc. Setelah jubahnya basah oleh bensin,
perlahan Quan Duc meraih korek api dengan posisi meditasinya dan menggoreskan
korek api tersebut ke aspal sehingga keluarlah percikan api yang melalap habis
tubuh Quang Duc. Beberapa wartawan mengabadikan foto Duc saat terbakar hangus
oleh jilatan Api, ratusan orang yang berdiri disekitar itu menjerit dan tidak
kuasa melihat pengorbanan Duc. Asap dengan bau daging Duc yang terpanggang mengepul
berebut keudara melalang buana memenuhi kota menyampaikan pesan terakhir bahwa seorang
rahib telah membunuh dirinya untuk menyampaikan aspirasi terakhir kepada dunia
bahwa Vietnam dan para penganut Buddhis sedang terancam.
Berita dan foto Quang Duc yang sedang terbakar menyita
perhatian dunia sehingga berujung demonstrasi besar-besaran terhadap Diem. Dimana
akhirnya Diem dan keluarga terbunuh! Foto Duc memicu sesuatu yang universal di
dalam diri manusia yang memiliki pengaruh besar, bahkan Presiden Kennedy
mengakui bahwa tidak ada foto jurnalistik disepanjang sejarah yang mampu
menghasilkan emosi yang sedemikian besar diseluruh dunia.
Dari foto pengorbanan seorang Quang Duck terlihat nilai tekad,
ketulusan, dan harapan besar, bagi Duck kemerdekaan dan kebahagiaan umat Buddhis
lebih berharga dari daging dan tulang belulang yang ada ditubuhnya. Sebagai manusia
kadang kita baru menyadari dan mau mengakui saat pengorbanan itu benar-benar
tampak dihadapan mata, seperti foto-foto Quang Duc misalnya.
Bagaimana
dengan pengorbanan orang tua yang membesarkan anak-anaknya? Yang mengandungnya,
melahirkannya hingga mecari makan untuk anak-anaknya. Andai setiap moment
seorang Ibu/Ayah anda terpotret otomatis dan dicetak dilembaran kertas foto, sebuah
foto yang menampilkan bagaimana dahinya mengernyit ketika berjalan membawa dan
menahan beban gumpalan daging anda dalam perutnya. Atau moment ekpresi wajah Ibu
anda yang berjuang menahan rasa sakit disekujur tubuhnya saat perlahan mengeluarkan
kepala dan tubuh anda bahkan sebagian dari Ibu harus
melakukan proses episiotomi (gunting Vagina) Ia rela diiris menggunakan alat medis seperti menggurat daging
Ikan dari durinya. Semua itu dilakukan hanya untuk memberikan ruang agar kepala
dan tubuh anda keluar dengan selamat. Atau bagaimana dengan ekpresi Ibu/Ayah
anda yang berprofesi sebagai seorang pedangang, seorang petani atau pekerja
kantoran? Andai anda sempat memotret bagaimana wajah Ibu atau Ayah anda ketika menunggu
pembeli dengan peraasaan khawatir dengan rasa takut dagangannya tidak laku,
atau potret wajah Ayah Ibu/Ayah anda ketika menjingjing cangkul atau menandur
dibawah terik matahari, keringatnya mengucur, bahkan Matahari terlalu egois
tidak mau tau tentang perasaan orangtua anda, ia terus menyengat dan membakar
badan Ayah/Ibu sehingga cahanya merusak kulitnya dan menjadikannya hitam kelam,
tumitnya pun tiada terawat sesekali mengeluh nyeri seorang diri dibelakang Anda,
bagaimana dengan orang tua anda yang berkerja dikantor swasta atau sebagai ASN?
Apakah benar mereka baik-baik saja? Anda terlalu percaya diri bahwa baju batik
atau seragam profesi yang menempel dibadan orangtua anda tidak memiliki beban
sehingga anda tidak perlu ikut campur dalam urusannya atau sekadar menaruh
empati kepadanya. Anda terlalu percaya diri bahwa Ayah dan Ibu anda baik-baik
saja dengan profesinya, anda tidak tau bagaimana kepala orang tua anda menunduk
saat ditegur oleh atasannya atau memutar otak untuk menyelesaikan tumpukan
pekerjaan dan target tempat Ia berkerja. Sejatinya tidak ada profesi yang membuat
Ayah dan Ibu anda nyaman, mereka yang selalu terlihat bahagia dengan senyum dan
tawa dihadapan kita ternyata tidak menjadi ukuran bahwa mereka menikmati profesinya.
Orangtua anda memiliki seribu alasan dan sejuta harapan yang membuatnya
bertahan, salah satu alasan itu adalah anda sebagai anaknya.
Seandainya setiap pengorbanan Ayah/Ibu anda terabadikan,
dan terlihat jelas guratan lelah diwajahnya. Saya pikir seorang anak akan
berpikir dua kali untuk berlaku bejad atau paling tidak bersikap kasar
kepadanya. Jika foto Duck yang terbakar karena pengorbanannya membuat tergerak
hati nurani manusia disegala penjuru dunia. Bagaimana dengan potret pengorbanan
Ibu terhadap anda sebagai anaknya?!.
No comments:
Post a Comment