Saturday, December 26, 2020

Belajar dari Foto Pengorbanan Quang Duc

 

 Belajar dari Foto Pengorbanan Quang Duc

 

Quang Duc, seorang Rahib taat yang menolak dengan harga mati penindasan terhadap kebebasan beragama di negaranya dan membakar diri sebagai bentuk protesnya, aksi pengorbanan Duck berujung kemenangan yang diabadikan oleh sejarah.

            Kisah memilukan rahib Quang Duc berawal dari terpilihnya seorang pria bernama Ngo Dinh Diem sebagai pemimpin Vietnam selatan. Diem adalah seorang Katolik taat yang terdidik dalam budaya Prancis, Ia menguasai beberapa bahasa dan pernah mengenyam kehidupan di Italia selama beberapa tahun, Diem adalah seorang pria yang mendapatkan penobatan dari wakil residen AS Lyndon Johnson sebagai “Winston Churchill Asia”. Diem merupakan manusia yang memiliki karismatik sehingga mampu memikat para pemimpin barat. Ia bahkan mengumumkan bahwa dirinya adalah pemimpin yang kelak akan membawa demokrasi ke Asia tenggara, dan semua orang percaya sebelum akhirnya mengutuk Diem.

            Semua anggapan baik tentang Diem perlahan memudar, pasalnya selama satu tahun sebagai pemimpin Diem menghanguskan semua partai politik kecuali partainya sendiri dan ketika negara menyelenggarakan pemilu Ia memilih abangnya untuk mengatur seluruh tempat pemilihan sebelum akhirnya nama Diem menempati sebagai pemenang dengan perolehan suara 98.2 persen, angka yang sangat fantastis. Diem mengisi kursi pemerintahan dengan barisan keluarga dan kroninya yang korup Ia dan para pengikutnya hidup mewah diatas ribuan kepala rakyatnya yang melolong kelaparan. Tidak berhenti sampai disini sejarah mengenang beberapa hobi buruk Diem salah satunya adalah menindas dan membunuhi orang-orang yang tidak sejalan dengannya, sebagai penganut Katolik yang taat Ia membenci penganut Buddha, padahal 80 persen rakyatnya adalah seorang Buddhis. Sikap ini menjadi ancamana dan takdir buruk bagi penganut Buddha. Dan benar saja Diem melarang adanya spanduk, perayaan hari raya, dan menolak memberikan layanan pemerintahan untuk rakyat yang beragama Buddha.

            Sikap arogan dari Diem mendapat reaksi keras dari penganut Buddha khususnya para rahib sebagai pemuka agama, berbeda dengan Diem yang bertindak dengan cara kekerasan dan otoriter, para rahib dan pengikutnya menempuh aksi damai untuk menyampaikan aspirasinya. Tapi nahas aksi protes tersebut tidak meluluhkan hati Diem, bahkan para aparat kepolisian yang seharusnya melindungi rakyat berubah wujud menjadi monster galak tanpa ampun, aparat mengusir para demosntran dengan melayangkan isi senapan besi menembus kulit dan jantung para rahib serta pengikut Buddhis yang tidak memiliki alat tempur apapun.

            Penindasan religious ini berlangsung pilu, hingga sampailah pada tanggal 10 Juni 1963 dimana moment langka terjadi dengan penuh khidmat dan menyita bahkan perhatian seluruh belahan dunia. Di perempatan Saigon tidak jauh dari istana presiden adalah sebuah kota yang merekam dengan jelas peristiwa puncak kekecewaan para Buddhis. Terlihat jelas para rahib dan ratusan biarawati mendaraskan berbagai doa. Kemudian  para rahib dan biarawati mengelilingi sebuah mobil dengan spanduk bertuliskan “penuntutan kebebasan beragama”.  Tidak lama kemudian 3 rahib turun dari mobil tersebut, rahib pertama membawa bantal dan meletakkannya dipermukaan jalan, rahib kedua berjalan menuju bantal lalu duduk diatasnya dengan posisi lotus dan mulai bermeditasi, kemudian rahib ketiga membuka bagasi lalu mengambil jeriken yang berisi bensin dan menyiramkannya kebadan rahib kedua yaitu seorang kakek yang diketahui bernama Thich Quang Duc. Setelah jubahnya basah oleh bensin, perlahan Quan Duc meraih korek api dengan posisi meditasinya dan menggoreskan korek api tersebut ke aspal sehingga keluarlah percikan api yang melalap habis tubuh Quang Duc. Beberapa wartawan mengabadikan foto Duc saat terbakar hangus oleh jilatan Api, ratusan orang yang berdiri disekitar itu menjerit dan tidak kuasa melihat pengorbanan Duc. Asap dengan bau daging Duc yang terpanggang mengepul berebut keudara melalang buana memenuhi kota menyampaikan pesan terakhir bahwa seorang rahib telah membunuh dirinya untuk menyampaikan aspirasi terakhir kepada dunia bahwa Vietnam dan para penganut Buddhis sedang terancam.

            Berita dan foto Quang Duc yang sedang terbakar menyita perhatian dunia sehingga berujung demonstrasi besar-besaran terhadap Diem. Dimana akhirnya Diem dan keluarga terbunuh! Foto Duc memicu sesuatu yang universal di dalam diri manusia yang memiliki pengaruh besar, bahkan Presiden Kennedy mengakui bahwa tidak ada foto jurnalistik disepanjang sejarah yang mampu menghasilkan emosi yang sedemikian besar diseluruh dunia.

            Dari foto pengorbanan seorang Quang Duck terlihat nilai tekad, ketulusan, dan harapan besar, bagi Duck kemerdekaan dan kebahagiaan umat Buddhis lebih berharga dari daging dan tulang belulang yang ada ditubuhnya. Sebagai manusia kadang kita baru menyadari dan mau mengakui saat pengorbanan itu benar-benar tampak dihadapan mata, seperti foto-foto Quang Duc misalnya.

Bagaimana dengan pengorbanan orang tua yang membesarkan anak-anaknya? Yang mengandungnya, melahirkannya hingga mecari makan untuk anak-anaknya. Andai setiap moment seorang Ibu/Ayah anda terpotret otomatis dan dicetak dilembaran kertas foto, sebuah foto yang menampilkan bagaimana dahinya mengernyit ketika berjalan membawa dan menahan beban gumpalan daging anda dalam perutnya. Atau moment ekpresi wajah Ibu anda yang berjuang menahan rasa sakit disekujur tubuhnya saat perlahan mengeluarkan kepala dan tubuh anda bahkan sebagian dari Ibu harus melakukan proses episiotomi (gunting Vagina) Ia rela diiris menggunakan alat medis seperti menggurat daging Ikan dari durinya. Semua itu dilakukan hanya untuk memberikan ruang agar kepala dan tubuh anda keluar dengan selamat. Atau bagaimana dengan ekpresi Ibu/Ayah anda yang berprofesi sebagai seorang pedangang, seorang petani atau pekerja kantoran? Andai anda sempat memotret bagaimana wajah Ibu atau Ayah anda ketika menunggu pembeli dengan peraasaan khawatir dengan rasa takut dagangannya tidak laku, atau potret wajah Ayah Ibu/Ayah anda ketika menjingjing cangkul atau menandur dibawah terik matahari, keringatnya mengucur, bahkan Matahari terlalu egois tidak mau tau tentang perasaan orangtua anda, ia terus menyengat dan membakar badan Ayah/Ibu sehingga cahanya merusak kulitnya dan menjadikannya hitam kelam, tumitnya pun tiada terawat sesekali mengeluh nyeri seorang diri dibelakang Anda, bagaimana dengan orang tua anda yang berkerja dikantor swasta atau sebagai ASN? Apakah benar mereka baik-baik saja? Anda terlalu percaya diri bahwa baju batik atau seragam profesi yang menempel dibadan orangtua anda tidak memiliki beban sehingga anda tidak perlu ikut campur dalam urusannya atau sekadar menaruh empati kepadanya. Anda terlalu percaya diri bahwa Ayah dan Ibu anda baik-baik saja dengan profesinya, anda tidak tau bagaimana kepala orang tua anda menunduk saat ditegur oleh atasannya atau memutar otak untuk menyelesaikan tumpukan pekerjaan dan target tempat Ia berkerja. Sejatinya tidak ada profesi yang membuat Ayah dan Ibu anda nyaman, mereka yang selalu terlihat bahagia dengan senyum dan tawa dihadapan kita ternyata tidak menjadi ukuran bahwa mereka menikmati profesinya. Orangtua anda memiliki seribu alasan dan sejuta harapan yang membuatnya bertahan, salah satu alasan itu adalah anda sebagai anaknya.

            Seandainya setiap pengorbanan Ayah/Ibu anda terabadikan, dan terlihat jelas guratan lelah diwajahnya. Saya pikir seorang anak akan berpikir dua kali untuk berlaku bejad atau paling tidak bersikap kasar kepadanya. Jika foto Duck yang terbakar karena pengorbanannya membuat tergerak hati nurani manusia disegala penjuru dunia. Bagaimana dengan potret pengorbanan Ibu terhadap anda sebagai anaknya?!.




No comments:

Post a Comment